Kamis, 09 Mei 2013

Sabtu Kelabu.



Hari Sabtu, 27 April, papaku meninggal.  Itu benar-benar membuatku terkejut dan tak percaya kalau aku sudah tidak punya ayah lagi. Kejadiannya begini:
Hari Sabtu tanggal 27 April, orangtuaku harus datang untuk mengambil hasil raport UTS. Aku sendiri deg-degan kalau-kalau nilaiku jelek dan tidak memuaskan. Hari ini pelajaran berlangsung sampai jam ke 4, setelah itu dimulailah pengambilan raport. Jam 10 tepatnya, siswa kelas X diharap menuju aula. Di sana sudah tersusun rapi kursi-kursi tempat orangtua duduk, sementara kami, duduk di bawah beralaskan tikar, kata guru pembawa acara, ini dimaksudkan untuk menghormati orang tua. Lalu diputarkan slide-slide yang berisi latihan konsentrasi, sekedar untuk pemanasan sebelum tubuh kejang melihat raport( ><)o Lalu diputar video-video lucu, kami tertawa, aku berfikir papa ada dibelakang dan tertawa bersama papa-papa lainnya. Lalu tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Saat itu aku duduk di leretan paling belakang, jadi aku kaget saat ada yang  menepuk pundakku. Ternyata itu Bu Fitri, wali kelasku. Kira-kira kenapa Bu Fitri menghampiriku, ya?
                “ Chairiyah?”, Bu Fitri bertanya.
                “ Iya, Bu. Ada apa?” Aku penasaran.
                “Begini,.. bapakmu masuk rumah sakit..”
                “ Papa masuk..?” pernyataan bu fitri mengejutkanku. Aku terdiam, bengong.
                “ Iya, itu diluar sudah ada yang menunggu….” Bu fitri mengijinkanku keluar, aku berjalan melewati orangtua-orangtua yang sedang duduk dan sesekali melihatku .
                “ Mbak, papa masuk rumah sakit, Mas gak bawa helm 2, gimana?” Mas Cahya sudah menunggu di depan pintu aula bersama guru kurikulum, Bu Nurin. Bu Nurin kemudian mengijinkanku ke rumah sakit. Aku dan Mas Cahya mencari pinjaman helm di pos satpam, tapi tidak ada.
                “Yaudah, lewat jalan ke UGM aja, gak ada polisi kok.. “ lalu kami segera bergegas ke rumah sakit. Sebenarnya ada satu pos polisi, tapi untunglah polisi di dalamnya tidak melihatku.
Di perjalanan, aku berfikir. Kok tiba-tiba papa masuk RS? Apa penyakit prostatnya kambuh? Atau darah tinggi? Aku berusaha tenang, tidak terlintas di hati ataupun pikiran bahwa sesuatu yang buruk terjadi.
Sesampainya di RS, kami masuk ke IGD,  lalu mencari ruang tempat papa dirawat. Lalu aku melihat seseorang menunggu di depan sebuah ruangan,  dan melihatku lalu menyuruhku ke arahnya. Orang itu adalah tetanggaku, Bu Sur. Ia juga teman orangtuaku yang paling dekat dan baiiik banget menurutku. Lalu aku mengintip ke dalam ruangan… astaga.  Papa terbaring dengan dikelilingi oleh alat-alat medis, disampingnya ada mama dan saudaraku yang sepertinya membisikkan sesuatu di telinga papa. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa perasaanku jadi tegang dan gelisah? Bu Sur menyuruhku menaruh tas ku lalu masuk ke ruangan itu. Kulihat mama menangis tersedu-sedu di samping papa yang masih membuka mata, tapi tidak sadar akan kehadiranku. Saat aku melihat kondisi papa seperti itu, aku menangis. Keadaan papa sungguh membuatku sedih. Papa seperti tidak merasakan apa-apa, tidak bergerak..
                “ Dek.. baca Al-Fatihah ya, do’akan papa..” kata mama.
Aku lalu membaca Al-Fatihah dan do’a-do’a yang bisa kubaca saat itu juga. Kulihat mesin yang layarnya menggambarkan pergerakan nadi dan nafas. Masih bergerak. Namun angka di dalam layar mesin itu semakin lama semakin berkurang. Dari 30, 29, 28, 27… dan akhirnya.. 0. Itu pertanda bahwa papa sudah tiada untuk selamanya.
Tangispun pecah di ruangan itu. Kami benar-benar tidak menyangka akan jadi begini. Aku sangaaat menyesal, belum bisa membahagiakan papa sepenuhnya.  Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah menangis, menyesal, dan ingin sekali keajaiban terjadi. Pikiran anak-anakku mulai muncul. Keajaiban tidak terjadi. Ya, memang, jika takdir sudah ditentukan, tidak ada yang bisa menghindar. Itulah hidup. Semua yang hidup pasti mati, dan semua yang mati nantinya akan dibangkitkan kembali pada saat yang tidak kita ketahui.
Setelah itu, perlahan mama cerita. Mama bercerita ke saudara, aku mendengarnya.
Mama baru pulang dari pasar. Papa sedang menonton tayangan Ustad Jefri yang meninggal pada hari Jum’at. Lalu papa menangis karena sedih melihat tayangan itu. Mama duduk dibelakang papa. Tiba-tiba papa terbaring di pelukan mama. Papa bilang kepalanya pusing, lalu mengucap istighfar. Kaki papa mendadak mengejang, dari mulut papa mengeluarkan busa. Mama panik, lalu memanggil anak kos yang kebetulan saat itu masih pada di rumah. Lalu mama memanggil Bu Sur, dan pergi ke rumah sakit. Setelah diperiksa, diketahui bahwa pembuluh darah di kepala papa pecah dan sudah melebar. Kata dokter, kalau belum melebar masih bisa ditangani, tapi ini sudah melebar. Hanya perlu banyak berdo’a.
Ya Allah, papa adalah orangtua yang baik dan mengajarkan banyak hal kepadaku. Papa selalu sholat, mengaji tidak pernah dilupakan. Meski papa suka marah gara-gara aku, tapi aku tetap sayang papa. Ya Allah, berilah papa tempat yang layak di surga, dan temukanlah papa dengan orang yang baik di sana. Amin ∩(︶▽︶)∩